Sabtu, 27 Maret 2010

Resensi Novel Ipung

Ah, Mata Anak Itu
Oleh : Akhmad Aminur Rizqi
aminurrizqi@ymail.com 

                                   Judul Buku : Ipung
                                   Penulis : Prie GS
                                   Tahun : 2008
                                   Penerbit : Penerbit Republika
                                   Kota Penerbit : Jakarta
                                   Tebal Halaman : 198 Halaman
                                   Jenis Buku : Fiksi

            Prie GS (“Great Spirit”) adalah penulis Sketsa Indonesia di Radio SmartFM Network. Ia dikenal sebagai public speaker, motivator, wartawan, kartunis dan budayawan unik asal semarang. Dalam dunia kartun, Mas Prie, demikian sapaan akrabnya, beberapa kali menjadi pemenang lomba kartun, baik nasional maupun internasional. Ia pernah di undang Japan Foundation untuk pameran dan berdiskusi tentang kartun di Tokyo, Jepang.
            Sehari-hari, Mas Prie adalah Pemimpin Redaksi Tabloid Keluarga Cempaka Minggu Ini yang masih seinduk dengan Suara Merdeka Group. Selain itu Dia juga menjadi Host dan narasumber di berbagai acara TV dan siaran radio. Antara lain, di TVRI Jawa Tengah, TV Borobudur, Prambors Radio Semarang, Suara Sakti FM, Idola FM, dan Radio SmartFM Network. Refleksi-refleksinya telah divisualisasikan di Indosiar.
Mas Prie telah menulis beberapa buku, antara lain, Nama Tuhan di Sebuah Kuis (Solo, 2003), Merenung Sampai Mati (Solo, 2004), dan Hidup Bukan Hanya Urusan Perut (Jakarta, 2007). Sehari-hari Mas Prie tinggal di Semarang. Di semarang itu pula, bersama dua anak muda langka dan berbakat, Habiburrahman El Shirazy dan Anif Sirsaeba, ia mendirikan Pesantren Karya dan Wirausaha BASMALAH INDONESIA, sebuah pesantren unik yang memfokuskan penggarapannya pada mahasiswa yang berminat di dunia karya (tulis-menulis) dan wirausaha (entrepreneurship). Maz Prie Membuka Pintu silaturrahmi bagi para pembaca di: 08122935948, atau via e-mail di: priegs@yahoo.com.
            Novel ini menceritakan tentang kehidupan seorang pemuda yang berasal dari desa/kampung, kepatihan tepatnya, suatu desa/kampung di kota solo. Pemuda tersebut pergi bersekolah ke kota solo demi mencapai cita-citanya. Pemuda tersebut biasa dipanggil Ipung. Pertama kali sampai di Solo Ipung sangat terkejut dengan penampilan kota solo, sungguh kota yang begitu besar bagi kepatihan, tempat dia hidup selama ini.
            Pada hari pertama masuk sekolah, pada waktu itu masih dalam suasana MOS (Masa Orientasi Siswa). Pada hari pertama itu pula nama Ipung mulai melambung di sekolah SMA Budi Luhur yang merupakan salah satu sekolah favorit di Solo. Ketika salah seorang Guru masuk ke kelas Ipung, dimana guru tersebut adalah seorang guru yang cukup berpengaruh di sekolah Budi Luhur dan sangat disegani oleh penghuni sekolah itu, Pak Bakri namanya. Saat Pak Bakri berada dalam kelas keadaan kelas sangatlah tegang, tapi Ipung membuat Guru itu sedikit kesal sehingga harus menahan emosinya, keadaan menjadi berubah drastis, tawa memenuhi ruangan itu. Sejak saat itu Ipung memiliki banyak penggemar, tapi hal tersebut malah membuat seorang wanita yang sejak pertama membuat mata Ipung kelilipan karena kecantikannya, Paulin nama gadis itu. Diam-diam gadis itu menyukai sosok Ipung, meskipun dilihat dari segi fisik Ipung bukanlah pasangan yang cocok untuknya. Pria dengan wajah tak bisa dibilang tampan, kurus, kering, bukanlah pasanganku mungkin itu yang ada dipikiran gadis itu. Tapi kenyataan berkata lain ternyata Paulin benar-benar menyukai Ipung. Berbagai cara dilakukan Paulin untuk bisa mendapatkan perhatian dari Ipung, meskipun Ipung sudah tahu kalau gadis itu sedang ingin mencuri perhatiannya. Tapi Ipung bertingkah cuek dan sok tidak peduli pada gadis itu. Sampai-sampai pada suatu hari mereka berdua telat masuk sekolah karena ulah Paulin yang ingin sekali mendapat perhatian Ipung, tapi Ipung tidak kalah dengan sikap Paulin itu dia lebih tetap pada pendiriannya, hingga akhirnya mereka berdua terlambat masuk sekolah.
            Tapi pada akhirnya merekapun bisa menjadi sepasang kekasih yang bisa dibilang cukup mengherankan,sekaligus menyedihkan yang membuat seisi Budi Luhur terkejut. Bagaimana tidak seorang putri yang cantik jelita kaya lagi bisa berpasangan dengan seorang pemuda buruk rupa miskin pula. Tapi banyak sekali tantangan yang harus dilalui Ipung,salah satunya ketika sepeda kesayangannya dihancurkan oleh Gredo, siswa Budi Luhur yang juga menyukai Paulin. Pada waktu itu Ipung marah besar karena sepeda itu adalah salah satu harta berhaga yang dimiliki Ipung di Solo. Tanpa basa basi pada waktu itu yang kebetulan ada Pak Bakri didekatnya, Ipung langsung minta izin pada Pak Bakri untuk menghajar Gredo yang di bantu oleh Marjikun teman Gredo. Tanpa basa basi Ipung langsung menghajar Gredo menggunakan pentongan yang ada di dekatnya.
            Cobaan lainnya ketika Ipung dikenalkan oleh Paulin kepada orang tuanya. Sungguh terkejut orang tua Paulin melihat sosok pemuda Menyeramkan itu ketika Paulin menjelaskan bahwa pemuda itu adalah kekasihnya. Tapi Ipung tidak menghiraukan hal itu. Dia merasa mempunyai kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki oleh anak lain disekolahnya, yaitu dia sangat pintar berbicara/berbahasa. Sampai-sampai dia direkrut menjadi salah seorang wartawan majalah MM, salah satu majalah ABG di Solo.
            Dalam novel ini pula Ipung sempat menjadi sosok pahlawan, yaitu ketika Ipung berusaha membantu Pak Rajab (pemilik kantin di sekolah Bidi Luhur) untuk mempertahankan warungnya dari ancaman gusuran yayasan. Bersusah payah Ipung membantu Pak Rajab, berbagai cara dilakukan Ipung pastinya dengan bantuan Paulin meskipun tidak banyak. Hingga pada akhirnya Ipung berhasil membantu Pak Rajab mempertahankan warungnya, yang sudah menjadi salah satu tempat yang paling banyak diminati para siswa Budi Luhur.
            Salah satu hal yang paling romantis dalam novel ini adalah ketika Ipung dan Paulin berada disekitar warung Pak Rajab berdua. Ketika itu Paulin melihat sosok Ipung yang sudah membuat hatinya luluh, dan sangat berani mengambil resiko untuk menolong orang seperti Pak Rajab, dengan gerak reflek pada saat itu Paulin mencium Ipung. Sungguh terkejut bercampur gembira si Ipung mendapatkan ciuman seorang gadis cantik yang sangat mencintainya.
            Ketika bulan Ramadhan tiba setiap malam Ipung pergi tarawih bersama Paulin ke Budi Luhur karena selama bulan Ramadhan Budi Luhur mengadakan tarawih bersama.Jadi Ipung dan Paulin mempunyai kesempatan untuk berangkat dan pulang bersama-sama. Tapi di dalam mobil Ipung sangat tegas dengan sikapnya, yang bisa diketahui dari kata-katanya ini.
“ Bukan muhrimnya dilarang saling bersentuhan…”.

            Dalam puasa tahun itu Paulin mendapatkan pengalaman paling gaib, bagaimana tidak. Berulangkali puasa, baru kali ini Paulin Tarawih. Berulang kali Ramadan, tapi baru sekali ini Paulin gugup mendengar azan. Kegugupan yang indah.
            Sebulan sebelum lebaran Ipung sudah mengirimkan surat ke kepatihan, yang memberitahukan bahwa dia akan pulang. Ketika hal ini diberitahkan kepada Paulin, sungguh terkejut Ipung mendengar perkataan Paulin yang ingin ikut ke Kepatihan bersama dengannya. Berbagai penjelasan telah Ipung lontarkan, tapi tak ada satupun yang Paulin dengarkan. Dia bersikeras tetap ingin ikut besama kekasihnya pulang ke kampung. Mau tidak mau akhirnya Ipung harus mengiakan permintaan Paulin. Akhirnya mereka berdua pergi ke kepatihan bersama tanpa terlebih dahulu Paulin meminta izin kepada orang tuanya. Karena Paulin kesal pada orang tuanya yang hanya menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya. Selama Paulin berada di kepatihan orang tuanya mencari Paulin kemana-mana tapi tidak ditemukan. Hal tersebut sudah Ipung perkirakan, akhirnya ia pergi ke rumah Pak Bakri untuk meminta bantuan kepadanya untuk memberi tahukan kepada orang tua Paulin bahwa Paulin pada saat itu berada di kepatihan dirumahnya. Akhirnya Pak Bakri mau membantunya karena telah mendengar berbagai penjelasan yang telah Ipung lontarkan.
            Akhirnya pada malam takbiran orang tua Paulin sudah berada dikepatihan mereka langsung memeluk erat Paulin. Sungguh Moment yang sangat di idamkan oleh Paulin selama ini. Menikmati malam takbiran bersama orang-orang yang dicintainya. Pelan tapi pasti, orang tua Paulin merasakan getar yang berbeda dari biasanya. Getar yang mereka sendiri sulit menerjemahkannya. Entah getar apa namanya?
Itulah sedikit gambaran cerita pada novel ini, tapi tidak hanya berhenti pada buku ini. Masih ada buku lanjutan dari Novel Ipung ini yaitu Novel Ipung 2, dengan lanjutan cerita yang pastinya lebih seru dan menegangkan. Masih belum diketahui kapan novel ke-2 akan terbit.
            Tema dari Novel ini yaitu tentang perjalanan hidup seorang pemuda dari desa yang menuntut ilmu di kota (Pendidikan). Hal tersebut tergambar dari kutipan berikut ini:

            Hebat. Ini sebuah kota besar, meski tidak sebesar Jakarta, batin Ipung. Ia mencoba tenang meskipun tetap saja panik. Bagaimanapun kampungnya, Kepatihan, adalah “udik” yang menyelip jauh di pedalaman Solo.
            Kota besar adalah kuali panas didalamnya di godok bermacam-macam kepentingan. Semua bakat diberi kesempatan yang sama. “menjadi bandit yang sukses atau orang pinter yang sukses, kotalah tempatnya,” kelakar Wuryanto, Pak Liknya.
            Wuryanto pula yang memaksa harus hengkang dari Kepatihan. “ Semarang bukan Cina. Padahal menuntut ilmu dianjurkan sampai ke Negeri Cina,” bentak Pak Liknya lagi. Ipung mendengarnya. Sangat mendengarnya. Pak Liknya memang suka berkelarkar. Tapi kelarkarannya mirip sarang lebah. Dengan kelarkar pula Wuryanto sanggup membuat nasihat malah begitu mujarab.
            Karena desakan Lik Wur pula kini ia tengah berdiri memandangi gedung sekolahnya. Megah. Sangat megah untuk ukuran matanya. Jangankan di Kepatihan, di kota besar ini pun ia masih termegah.
SMA Budi Luhur.

            Alur yang digunakan di dalam novel ini ialah Alur Maju. Dibawah ini adalah tahapan-tahapan alur yang ada pada novel ini. Pada tahap Perkenalan bisa dilihat dari kutipan berikut ini:
            HARI pertama sekolah!
            Hebat. Ini sebuah kota besar, meski tidak sebesar Jakarta, batin Ipung. Ia mencoba tenang meskipun tetap saja panic. Bagaimanapun kampungnya, Kepatihan, adalah “udik” yang menyelip jauh di pedalaman Solo.
            Mestinya Ipung menyimpan banyak keheranan pada nama itu. Bukankah kepatihan adalah tempatnya patih atau punggawa keraton? Ah sudahlah, ia merasa masih cukup waktu untuk mengusutnya kapan-kapan. Yang terang, setidaknya nama itu masih enak di lidah. Ini sedikit menolongnya kalau harus bercerita soal asal-usul.
            Kota besar adalah kuali panas didalamnya di godok bermacam-macam kepentingan. Semua bakat diberi kesempatan yang sama. “menjadi bandit yang sukses atau orang pinter yang sukses, kotalah tempatnya,” kelakar Wuryanto, Pak Liknya.
            Wuryanto pula yang memaksa harus hengkang dari Kepatihan. “ Semarang bukan Cina. Padahal menuntut ilmu dianjurkan sampai ke Negeri Cina,” bentak Pak Liknya lagi. Ipung mendengarnya. Sangat mendengarnya. Pak Liknya memang suka berkelarkar. Tapi kelarkarannya mirip sarang lebah. Dengan kelarkar pula Wuryanto sanggup membuat nasihat malah begitu mujarab.
            Karena desakan Lik Wur pula kini ia tengah berdiri memandangi gedung sekolahnya. Megah. Sangat megah untuk ukuran matanya. Jangankan di Kepatihan, di kota besar ini pun ia masih termegah.
SMA Budi Luhur.

            Pada awal munculnya konflik dalam novel ini ketika Ipung dan Paulin datang terlambat karena ulah Paulin yang ingin mendapat perhatian Ipung sampai-sampai mereka berdua disidang di BP. Dan karena adanya persaingan anak-anak Budi Luhur Merebut Paulin. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan kutipan berikut ini:
            IPUNG terlambat sekolah bersama dengan Paulin. Sekolah gempar. Popularitas Ipung langsung terancam. Bisa jadi anak-anak itu rela bersimpati pada Ipung. Tapi terbatas pada sikapnya yang ogah-ogahan. Pada keberhasilannya meledek kegalakan Pak Bakri tempo Hari.
            Ketika sudah melibatkan Paulin? Tunggu dulu. Dari awal, anak mami itu memang telah jadi bintang. Dalam sekejap kecantikan Paulin telah menciptakan perang dingin seluruh kelas. Tak Cuma Kelas. Gossip tentang Paulin telah menciptakan isu paling panas di SMA Budi Luhur. Tidak dikelas unggulan, tidak dikelas biasa.
            Tapi semua harus berubah. Sejak pertama, Gredo telah merancang strategi sedemikian rupa untuk memburu Paulin. Semua telah tersusun rapi. Begitu segalanya siap tempur, sebuah mimpi buruk menyergapnya. Ipung disidang Guru BP, berdampingan dengan Paulin.
            “Dia pikir Dia siapa,” geram Gredo tertahan. Gredolah manusia paling dulu ia raba reaksinya. Ia sengaja lewat mendekati Gredo. Benar, Ia mengisyaratkan kemarahan terpendam. Perang yang sebenarnya akan segera dimulai, batin Ipung.

            Sedangkan konflik yang terjadi dalam novel ini. Diantaranya ketika Ipung menghajar Gredo dan teman-temannya setelah dia mengetahui bahwa sepeda kesayangan yang diberikan oleh Lek Wurnya dihancurkan oleh Gredo beserta teman-temannya. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut:
            Ipung melangkah tenang menuju parkiran sepeda Federalnya. Dan di tempat itulah ia baru kaget.
Sepedanya rusak berat. Sadelnya lenyap. Ban depannya ringsek bekas diperkosa sejadi-jadinya.
            Sepeda itu kini ringsek.Ipung terpaku. Lama. Sangat lama.tidak ia tak takut gagal memperbaiki kerusakannya. Itu soal sederhana. Yang tak sedearhana adalah soal harga diri.
            “saya minta ijin berkelahi Pak,” kata Ipung serius. Suaranya gemetar.
            Mestinya Gredo tertawa. Tapi ia buru-buru menangkap sosok Ipung dengan langkah yang bulat. Tangannya yang sembunyi di belakang. Gredo menyerngit. Itu jelas bukan langkah seorang yang sedang ketakutan. Dan tangan yang sembunyi itu? Gredo berpikir keras.
            Tapi kartu itu terpaksa menjadi kartu mati. Semua itu berlangsung begitu cepat. Marjikun yang mencoba menghalangi Ipung langsung melorot nyalinya begitu melihat kayu di punggung Ipung. Gredo terlambat bereaksi karena terkesima. Dengan ayunan kemarahan yang sempurna Ipung menghajar tengkuk Gredo. Anak itu menjerit keras. Matanya menggambarkan ketakutan teramat sangat saat melihat Ipung tak berniat menghentikan pentungannya.

            Kemudian konflik yang tak kalah serunya ketika sepeda Ipung tiba-tiba menghilang dari tempat ketika sepeda itu dihancurkan, sebenarnya sepeda itu tidak hilang akan tetapi dibawa Paulin untuk diperbaiki, tetapi Paulin tidak memberitahukannya pada siapa-siapa, karena dia takut Ipung tidak akan mengijinkannya. Seluruh Budi Luhur gempar saat itu, karena sesaat setelah kejadian tersebut akan ada wartawan dari majalah remaja MM, dari Jakarta. Mau ditaruh dimana muka Budi Luhur kalau sampai tahu bahwa ada kejadian semacam itu di sekolah itu. Yang tak kalah hebohnya adalah Paulin karena ulah dialah kejadian tersebut bisa terjadi. Dia merasa sangat bersalah kepada Ipung.
            Konflik yang selanjutnya yaitu ketika Ipung harus mempertahankan Warung Pak Rajab yang ingin digusur oleh pihak yayasan, pada kejadian ini Ipung benar-benar mengerahkan semua kemampuannya untuk mempertahankan Warung Pak Rajab yang sudah lama berdiri menemani SMA Budi Luhur. Sampai-sampainpada kejadian ini Ipung dihajar oleh seoarang siswa yang tidak menyukai perbuatan Ipung.
Setelah terjadi beberapa konflik diatas, inilah kejadian yang sedikit menyenangkan bahkan ada yang begitu membuat Ipung senang. Anti Klimaks dari novel ini yaitu ketika warung Pak Rajab bisa diselamatkan, hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Jangan mati dulu Pak Rajab. Besok Pak Rajab sudah harus jualan lagi!” teriak Marjikun sambil berputar-putar dengan talinya. Rajab terpana.
Marjikun tahu kebingungan Rajab. Ia janji, ia harus menyebut nama Ipung. Dari gelayutan talinya ia baru sadar kalau Ipung tidak ada.
Dalam hatinya, Marjikun diliputi perasaan Hormat dan tersiksa.


            Kemudia penurunan konflik lainnya ketika Paulin menginap dirumahnya Ipung di Kepatihan tidak hanya Paulin tetapi Mami dan Papi Paulin juga berada disana tepat pada malam takbiran setelah mereka berhari-hari mencari Paulin yang tiba-tiba menghilang, kenapa tidak Paulin tidak pamitan kepada kedua orangtuanya kalau dia berada dirumah Ipung. Cerita di Kepatihanlah dalam novel ini berakhir dengan indah ketika pelan tapi pasti, orang tua Paulin merasakan getar yang berbeda dari biasanya. Getar yang mereka sendiri sulit menerjemahkannya. Entah getar apa namanya?. Berikut kutipan ketika mereka berada di Kepatihan.
Hari mulai gelap. Ketika sampai dikepatihan, hari telah benar-benar malam.
Telah ada suara takbir. Ini puasa terakhir. Semoga Paulin paham dengan scenarionya, doa Ipung.
Ia langsung membawa rombongan ke rumah. Kosong. Semua ke surau. Termasuk Paulin. Takbir telah bergema. Ipung melesat cepat. Membawa keluarganya pulang. Paulin paling depan muncul di pintu. Masih berrmukena, cantik sekali. Lebih cantik dari biasanya.
Mami-Papi kaget. Mami langsung menubruk anaknya, menangis. Paulin juga menangis. Papi terpaksa mengusap air matanya. Takbir bertalu-talu. … . pelan dan pasti, Mami-Papi merasakaan getar yang berbeda dari biasanya.getar yang mereka sendiri sulit untuk menerjemahkannya. Entah, getar apa namanya?

            Dalam novel ini tidak memiliki penyelesaian, karena novel ini berhenti sebelum penyelesaian terjadi. Artinya masih ada episode selanjutnya dari novel ini, yaitu pada buku keduanya Ipung 2.
            Amanat yang terkandung dalam Novel ini salah satunya ialah,meskipun kita orang desa tapi kita jangan menyerah dengan keadaan kita tidak boleh minder ketika berada dikota besar seperti kota Solo dalam cerita ini, karena orang desapun bisa menjadi orang yang sukses dan hebat apabila kita berusaha dengan sunggu-sungguh dan tidak menyerah dengan keadaan. Berikut adalah kutipan dari amanat dalam novel ini.
            “Soedirman itu jenderal, Soeharto itu jenderal. Keduanya dari desa. Soekarno itu Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono juga presiden. Keduanya juga dari desa. Mereka semua, asalnya dari desa. Kesimpulannya, semua orang hebat adalah orang desa. Karena itu kamu jangan minder,meskipun kamu orang desa”, kelakar Lik Wur, lagi-lagi dengan tawanya yang ngakak. Dada Ipung sesak dengan semangat.

            Sudut pandang yang digunakan dalam novel ini yaitu sudut pandang orang pertama pelaku utama, hal ini dapat diketahui dari banyaknya penggunaan kata-kata aku, saya dan lain sebagainya. Setting dalam novel ini meliputi tiga bagian yaitu setting waktu, tempat, dan suasana. Setting tempat antara lain ketika, di Jalan, di parkiran, di Sekolah, di Kelas, di Rumah Kost-an Ipung, di Warung Pak Rajab, di Kepatihan Rumah Ipung, di Rumah Paulin, dll. Setting waktu antara lain Siang dan Malam Hari. Sedangkan Setting suasana ialah ketika, terjadi ketegangan, menyenangkan dan lain sebagainya.
            Berikut adalah beberapa kutipan dari setting tempat.
Kelas tegang. Biasa hari pertama. Tambah tegang lagi ketika yang masuk adalah Pak Bakri. Wakil Kepsek itu, sejak MOS telah menunjukkan sifat sok galaknya.
Ia langsung membawa rombongan ke rumah. ….
Ipung melangkah tenang menuju parkiran sepeda Federalnya. Dan di tempat itulah ia baru kaget.


            Berikut adalah beberapa kutipan dari setting waktu.
Hari mulai gelap. Ketika sampai dikepatihan, hari telah benar-benar malam.
Matahari mulai condong kebarat, cemara di halaman SMA Budi Luhur menerbangkan daunnya yang runcing. Angin siang semarang melintas lembut.

            Berikut adalah beberapa kutipan dari setting suasana.
Kelas tegang. Biasa hari pertama. Tambah tegang lagi ketika yang masuk adalah Pak Bakri. Wakil Kepsek itu, sejak MOS telah menunjukkan sifat sok galaknya.
Hebat. Ini sebuah kota besar, meski tidak sebesar Jakarta, batin Ipung. Ia mencoba tenang meskipun tetap saja panik. Bagaimanapun kampungnya, Kepatihan, adalah “udik” yang menyelip jauh di pedalaman Solo.
Mestinya Gredo tertawa. Tapi ia buru-buru menangkap sosok Ipung dengan langkah yang bulat. Tangannya yang sembunyi di belakang. Gredo menyerngit. Itu jelas bukan langkah seorang yang sedang ketakutan. Dan tangan yang sembunyi itu? Gredo berpikir keras.

            Tokoh dalam novel ini antara lain Ipung, Paulin, Lik Wuryanto, Ibu Ipung, Pak Bakri, Pak Rajab, Pak Bahrun, Gredo, Marjikun, Hasan, Surtini. Ipung dalam novel ini memiliki perwatakan sebagai tokoh yang hebat, dia pandai berbicara, pandai mendramatisir keadaan. Berikut adalah sedikit kutipan watak Ipung ketika kelas dalam keadaan tegang.
            Kelas tegang. Biasa hari pertama. Tambah tegang lagi ketika yang masuk adalah Pak Bakri. Wakil Kepsek itu, sejak MOS telah menunjukkan sifat sok galaknya.
Ipung sebel. Ia akan sangat menghargai kalau ada anak yang berani untuk tidak tegang. Tapi siapa? Anak yang diharapnya itu tak juga ada. Semua mata adalah mata yang tegang, sama kampungannya.
….
Tapi sudahlah. Itu soal waktu. Toh rasa sebelnya lebih mendorong-dorongnya untuk melakukan sesuatu. Ia tak tahan pada suasana yang serba seragam. Dan Hup\. Ipung tunjuk jari! Seluruh kelas kaget. Pak Bakri juga Kaget.


            Sedangkan Paulin dalam novel ini memiliki perwatakan baik hati, tapi dia merupakan anak mami yang cukup manja, tapi penuh perhatian, buktinya ada pada kutipan berikut.
Tak begitu jauh, Pak Dal sedang senewen. Tak tahu harus berbuat apa. Ia Cuma terbelenggu fantasi aneh melihat majikan cantiknya tersedu dan ngelendot di sisi cowok kerempeng. Cowok yang sama sekali tidak tampan dan jelas tak punya bakat sebagai anak gedongan.

            Gredo yang turut berperan penting dalam penciptaan suasana disini memiliki watak yang keras, kasar, pendendam, dan mudah marah. Berikut adalah kutipannya.
Tapi semua harus berubah. Sejak pertama, Gredo telah merancang strategi sedemikian rupa untuk memburu Paulin. Semua telah tersusun rapi. Begitu segalanya siap tempur, sebuah mimpi buruk menyergapnya. Ipung disidang Guru BP, berdampingan dengan Paulin.
“Dia pikir Dia siapa,” geram Gredo tertahan. Gredolah manusia paling dulu ia raba reaksinya. Ia sengaja lewat mendekati Gredo. Benar, Ia mengisyaratkan kemarahan terpendam. Perang yang sebenarnya akan segera dimulai, batin Ipung.

            Tidak kalah penting dalam novel ini juga ada tokoh Pak Bakri yang banyak sekali membantu Ipung, wataknya dalam cerita ini baik hati, dan sangat bijaksana meskipun dia terkenal dengan guru yang sangat galak dan disegani. Berikut kutipannya.
Kelas tegang. Biasa hari pertama. Tambah tegang lagi ketika yang masuk adalah Pak Bakri. Wakil Kepsek itu, sejak MOS telah menunjukkan sifat sok galaknya.

            Kelebihan dari novel ini ditinjau dari segi kualitas isinya, yaitu sangat bagus sebagai Novel pembangkit semangat (Motivator). Novel ini merupakan motivator yang benar-benar bagus, karena novel ini mengangkat cerita seorang anak desa yang miskin, walaupun dengan tubuh yang kerempeng, wajah yang cukup memprihatinkan tapi dia bisa berhasil di kota besar. Kemudian kelebihan lainnya yaitu Mas Prie disini bisa menahan pembaca dengan kata-kata yang sungguh menakjubkan. Seperti pada kata-kata berikut.
            “Soedirman itu jenderal, Soeharto itu jenderal. Keduanya dari desa. Soekarno itu Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono juga presiden. Keduanya juga dari desa. Mereka semua, asalnya dari desa. Kesimpulannya, semua orang hebat adalah orang desa. Karena itu kamu jangan minder,meskipun kamu orang desa”, kelakar Lik Wur, lagi-lagi dengan tawanya yang ngakak. Dada Ipung sesak dengan semangat.

            Sehingga pembaca ingin segera menyelesaikan membaca novel ini, dan juga Mas Prie Berhasil membuat pembacanya penasaran dengan lanjutan cerita Ipung dalam novel ini, karena cerita pada novel ini hanya berhenti pada sebagian cerita saja. Dalam kata lain masih ada buku kelanjutan dari cerita ini.
            Kekurangan dari novel ini, mungkin yang bisa saya ungkapkan hanya pada jalan ceritanya saja, seandainya novel ini diteruskan sampai akhir penyelesaian nanti, pasti akan menjadi salah satu novel yang sangat menarik untuk dibaca. Karena selain ceritanya yang bagus, novel ini juga dapat dijadikan sebagai motivator yang sangat baik tentunya bagi kalangan pelajar.
            Novel ini sangat bagus dikonsumsi oleh kalangan umum, khususnya bagi para pelajar. Karena penggunaan bahasanya yang cukup mudah dicerna, isi dari novel ini juga sangat bagus bagi pembacanya khususnya bagi pelajar yang sedang giat-giatnya belajar. Pasti Ada Hikmah di Balik Ulah, begitulah tutur penulis novel fenomenal Ayat-Ayat Cinta Habiburrahman El Shirazy, dalam menanggapi novel ini.

sekian trimakasih...